Sabtu, 09 Juli 2011

Depdagri Setuju MY Dihentikan


SOFIFI- Buruknya kinerja Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut) dalam pelaksanaan Proyek Multi Years (MY) mendapat perhatian pemerintah pusat. Departemen Dalam Negeri (Depdagri) menyetujui pelaksanaan Proyek MY dihentikan. Hal tersebut dilakukan kerena proyek MY di Malut besar implikasi hukumnya. DPRD Malut bertekad menggelar paripurna pencabutan Perda MY.
Kepada Radar Halmahera, Wakil Ketua DPRD Malut, Jasman Abubakar yang dihubungi melalui sambungan telepon kemarin mengatakan, penghentian pekerjaan proyek Pemprov Malut dengan sistem MY melalui rekomendasi Komisi III beberapa waktu lalu sudah sangat tepat. Apalagi, beberapa waktu lalu, Depdagri ketika dilakukan konsultasi oleh Badan Anggaran (banggar) dan pimpinan DPRD Malut juga menyetujui upaya penghentian pelaksanaan proyek dimaksud.
“ Hasil konsultasi Banggar dengan pimpinan DPRD ke Depdagri juga demikian. Usulan dari Depdagri, MY yang ada di Maluku Utara itu sebaiknya di stop. Karena dari aspek waktu sebagaimana yang diatur dalam peraturan daerah itu sudah menyimpang,” katanya.
Pertimbangan Depdagri lainnya menurut adalah, seharusnya, dalam pengerjaan proyek MY, pihak ketiga (Kontraktor) harus memiliki jaminan dalam pelaksanaan proyek, sejak proyek itu dilakukan sampai akhir pekerjaan. Jaminan itu bisa dalam bentuk jaminan ke Bank yang membuktikan keseriusan pihak ketiga dalam melaksanakan proyek MY, sayangnya hal tersebut tidak ada hingga saat ini. Sementara dari segi waktu, MY diputuskan dilakukan selama tiga tahun dengan metode pembayaran tiga tahun dan penyelesaian pembayaran dilakukan sebelum tiga tahun.
“ Dalam Peraturan Daerah (Perda) itukan sudah jelas kalau pekerjaan ini dilakukan selama tiga tahun. Sekarang sudah satu tahun lebih, bahkan mau masuk tahun kedua tapi gejala-gejala pekerjaan belum ada. Artinya, pekerjaan ini memang sudah tidak bisa karena pelaksanaannya tidak signifikan,” ujarnya.
Tidak sesuainya pekerjaan dengan alokasi waktu dan anggaran yang telah disepakati seperti ini oleh Depdagri kata Jasman, akan berimplikasi terhadap hukum. Pasalnya, sudah sangat jelas ada pelanggaran terhadap Perda serta pelanggaran atas kesepakatan kontrak antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga. Sayangnya, hingga detik ini, Pemprov Malut sendiri tidak melakukan langkah apapun juga terkait dengan kondisi demikian.
“ Kelihatannya Pemprov cuek aja dengan kondisi ini, jadi saya pikir DPRD harus mengambil langkah yang lebih tegas,” tendasnya.
Langkah apa yang akan diambil? Ditanya demikian, Politis PDI Perjuangan Malut ini mengatakan, DPRD Malut harus mengambil sikap tegas mendesak kepada Pemprov Malut untuk menghentikan pekerjaan proyek MY. Ketegasan sikap DPRD menurut dia, tidak lagi dalam bentuk penyampaian rekomendasi melainkan mengeluarkan surat keputusan yang diputuskan melalui Paripurna dengan mempertimbangkan fakta-fakta pelaksanaan proyek sebagai dasar pengambilan keputusan tersebut.
“ Langkah ini nantinya kita bicarakan lagi, apakah akan dikembalikan kepada sistem penganggaran reguler atau seperti apa. Yang penting DPRD sudah mengambil sikap tegas. Tapi bukan lagi dalam bentuk rekomendasi melainkan keputusan melalui paripurna yang diawali dengan mencabut Perda MY,” jelasnya.
Terkait persoalan itu, dia mengatakan untuk unsur pimpinan sudah tidak lagi bermasalah. Apalagi, pada saat konsultasi ke Depdagri pimpinan DPRD Malut juga ikut serta. Praktis, sudah pasti mendengar langsung penjelasn dari Depdagri itu sendiri. Selain itu, dasar keputusan lainnya adalah melihat rekomendasi yang disampaikan Komisi III dan hasil konsultasi Komisi II yang mana sudah memiliki titik temu, yakni sudah saatnya proyek MY dihentikan karena diyakini gagal dalam pelaksanaannya.
“ Kan kemarin pimpinan juga ada, jadi saya pikir sudah tidak bermasalah. Apalagi MY ini gagal dilaksanakan,” ujarnya.
Kegagalan itu menurut dia, dapat dilihat dari target yang tidak tercapai dalam proyek tersebut. Padahal, kepentingan mendorong proyek dengan sistem MY oleh DPRD Malut bertujuan agar masyarakat khsusnya yang berada di ibukota provinsi dan pemerintahanya dapat menikmati hasil pembangunan dalam dua tahun. Anehnya, hingga mendekati dua tahun proyek ini dilakukan tidak terlihat hasil-hasilnya.
“ kalau sudah demikian apakah ini bukan gagal?,” imbuhnya dengan nada tanya.
Karena itu dalam waktu dekat ini menurut dia, sebelum melakukan paripurna pencabutan Perda MY akan dilakukan komunikasi dengan komisi terkait terutama Komisi III yang mebidangi masalah pembangunan yang mana sebelumnya telah menyampaikan rekomendasi penghentian Proyek MY kepada unsur pimpinan yang telah diteruskan kepada pemprov Malut.
“ Rekomendasi mereka (Komisi III) sudah diteruskan, secara tehnis akan kami bicarakan di komisi III dan Banleg kemudian kita teruskan secara bersama-sama,” ujarnya. (amy)

Senin, 04 Juli 2011

Tanah Warga Dibongkar


Klaim Milik Negara Untuk Kepentingan Transmigrasi
SOFIFI-  Sertelah 19 Kepala Keluarga (KK) di Desa Galala Kecamatan Oba Utara diserobot tanahnya oleh pemerintah provinsi Maluku Utara (Malut) untuk kepentingan pembangunan infrastruktur jalan 40. Kondisi yang sama dialami sejumlah KK Dua Desa di Kabupaten Halmahera Timur. Tanah mereka dibongkar dengan alasan tanah tersebut milik negara, untuk kepentingan transmigrasi.
Mukti Baba, Ketua Dewan Pengurus Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara mengatakan, saat ini telah dilakukan penggusuran oleh pemerintah Halmahera Timur (Haltim) pada lahan milik sejumlah KK di Desa Wasileo dan Patlean Kecamatan Maba Utara. Padahal menurut dia, lahan tersebut merupakan sumber kehidupan masyarakat setempat.
“ itu lahan perkebunan masyarakat, tapi telah dibongkar dengan alasan mau dijadikan pemukiman transmigrasi,” katanya.
Alasan penggusuran itu juga menurut dia sangat ganjil. Lahan yang telah dikelolah oleh masyarakat puluhan tahun itu, kemudian oleh rekanan yang dipercayakan oleh Pemkab Haltim bahwa lahan-lahan tersebut adalah lahan milik negara yang telah dipatok sejak tahun 1976.  Anehnya lagi, alasan kepemilikan tanah itu bahkan baru diketahui warga setelah pembongkaran dilakukan.
“ Lahan tersebut rencananya mau dijadikan dua Satuan pemukiman (SP). Padahal selama ini masyarakat hanya bergantung pada hasil perkebunan yang mana setiap tanamannya tumbuh diatas lahan yang digusur itu,” ujarnya.
Akibat karena penggusuran itu, masyarakat dua desa mengalami kerugian baik materil maupun nonmateril. Karenanya, Walhi Malut menurut dia, tidak akan diam melihat persoalan tersebut. Walhi akan melayangkan sikap protes kepada Pemkab Haltim yang dinilai telah mengambil kebijakan yang merugikan masyarakat. Penggusuran yang dilakukan tersebut menurut dia adalah bentuk praktek perampasan hak-hak rakyat atas sumber daya kehidupan.
“ Kita Tidak menolak program transmigrasi tapi masih banyak lahan yang luas untuk digunakan  bagi kepentingan itu (transmigrasi), jangan sampai kepentingan pembangunan malah merugikan dan mengorbankan masyarakat,” imbuhnya.
Dikatakannya, dari data yang dihimpun menyebutkan, penggusuran lahan yang berada didua desa itu nantinya dijadikan dua satuan pemukiman transmigrasi. Lahan pemukiman transmigrasi itu menurut dia, ternyata hanyalah pintu masuk untuk investasi kelapa sawit didaerah tersebut. Pasalnya saat ini di Haltim sendiri menurut dia, telah ada tiga Satuan Pemukiman (SP) yakni SP 3, sementara untuk SP 4 dan SP5 yang menghubungkan masyarakat Patlean dan di Waseleo sementara dilakukan pembongkaran lahan.
“ Masyarakat yang rata-rata bermata percarian sebagai pekebun itu, tidak bisa berbuat banyak, mereka hanya bisa melihat lahan dan tanaman kelapa mereka digusur, padahal lahan tersebut telah dikelolah masyarakat sejak 20 tahun silam,” katanya. (amy)

Kajati Didesak Bongkar Mafia Tanah


SOFIFI- Meski telah mengeluarkan surat perintah dengan PRINTUG -     /S.2.1/Dek/05/2011 kepada empat jaksa untuk melakukan penelusuran dugaan penyimpangan anggaran dalam pelaksanaan pembebasan lahan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara di Sofifi. kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) dipermasalahkan. Kejati dinilai tidak serius dalam membongkar praktik mafia lahan Sofifi.
Hal ini disampaikan Ketua Bidang Advokasi dan HAM Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Tidore Kepulauan, Suratmin Idrus kepada Radar Halmahera di Posko Pengaduan Masyarakat untuk Pembebasan Lahan di Desa Balisosabarumadoe kemarin. Dikatakannya, Kejati Malut mengeluarkan Printug pada tanggal 09 Mei 2011, yang mana dalam surat tersebut menjelaskan bahwa jaksa yang ditugaskan melakukan pengumpulan data (puldata) dan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) dalam waktu tujuh hari sejak dikeluarkannya surat tugas.
“ Itu artinya bahwa, seharusnya sudah ada kejelasan pada bulan Mei itu juga sudah ada tindak lanjut dari dugaan adanya penyalahgunaan anggaran dalam proyek ini. tapi sekarang sudah masuk bulan juli belum ada apa-apa. Kinerja Kejati ini patut dipertanyakan. Ada apa ini?,” katanya.
Dijelaskannya, dugaan adanya penyalahgunaan anggaran, mafia lahan dan makelar tanah di Sofifi sepertinya sudah menjadi rahasia umum. Dan karena itu, Kejati sebagai lembaga hukum di Malut harusnya tanggap dalam melihat persoalan ini. apalagi sudah mengambil sikap dengan menerbutkan surat perintah. Jika Kejati kemudian tidak menindaklanjuti surat perintah tersebut, tentu publik akan mempertanyakan kepentingan Kejati Malut dalam proyek tersebut.
“ Semua orang sudah tau bahwa dalam proyek ini, ada dugaan keterlibatan pejabat pemprov yang sengaja memanfaatkan keberadaannya untuk memperkaya diri,” jelasnya.
Selain itu menurut dia, data lainnya yang memungkinkan kuat dugaan adanya makelar tanah yang sengaja dipelihara oleh para pejabat pemprov adalah terungkapnya sejumlah nama-nama masyarakat Desa Balisosabarumadoe dalam daftar rekapitulasi pembebasan lahan yang diterbitkan Biro Pemerintahan Umum Setdaprov Malut yang beberapa waktu lalu di beritakan Radar Halmahera.
“ Inikan sudah jelas, lalu kejati tunggu apa lagi. Bukankah kejati sudah punya data awal. Kita berharap, kejati serius dalam persoalan ini, jangan sekedar berwacana,” tandasnya. (amy)

KLH Didesak Tekan PT.NHM


Terkait Penyediaan Sumber Air Alternatif
SOFIFI- Setelah melakukan penelitian kwalitas dan pengambilan sampel air sungai Tabobo yang diduga tercemar limbah PT. Nusa Halmahera Mineral (NMH) akibat kebobolan pipa tailing beberapa waktu lalu. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Malut menyurati Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). BLH dengan tegas meminta KLH menekan PT.NHM untuk menyediakan sumber air alternatif.
Kepala BLH Malut, Naser Thaib kepada Radar Halmahera mengatakan, untuk mengantisipasi masyarakat mengkonsumsi air sungai Tabobo yang diduga telah tercemar,PT.NHM seharusnya menyiapkan fasilitas air yang disediakan dalam bak penampung. Untuk persoalan itu menurut dia, BLH Malut sudah menyampaikan surat kepada KLH untuk memberikan penekanan kepada PT.NHM.
“NHM punya dana CSR yang besar, kalau bisa, setiap dusun yang berada dilingkar tambang dibuatkan semacam PDAM. Sumber airnya nanti diambil dari Malifut yang jauh dari sumber air yang diduga tercemar,” katanya.
Langkah tersebut menurut dia dilakukan sebagai langkah antisipasi bagi PT.NHM. yang mana jangan sampai dikemudian hari, kebocoran pipa kembali terjadi. Selain mendesak agar dibuatkan jalur air alternatif, PT.NHM juga didesak untuk menyediakan tenaga-tenaga medis. Pasalnya, dengan adanya kebocoran pipa beberapa waktu lalu telah ada sejumlah masyarakat yang mengeluhkan penyakit, baik gatal-gatal maupun bisul.
“ NHM harus bisa menurunkan tim dokter specialis untuk memeriksa kesehatan masyarakat yang sudah mulai terjangkit, masa NHM tidak bisa membiayai, kasihan masyarakat,”paparnya.
Sementara terkait dengan penelitian kualitas air dan tanah dilokasi Sungai Tabobo, dia menjelaskan, paling lambat 14 hari setelah diambil sampelnya akan diumumkan hasil penelitian tersebut. Penelitian itu sendiri menurut dia, dilakukan pada jum’at (24/6) kemarin.
“’ Penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dengan melakukan pengambilan sampel tanah maupun sampel air sungai untuk penelitian, apakah tercemar limbah perusahan atau tidak,  karena beberapa waktu lalu pipa tailing milik PT. NHM bocor dan mencemari singkungan sekitarnya,” jelasnya.
Ditambahkannya, terkait dengan sanksi jika dalam penelitian tersebut ditemukan adanya pencemanaran, maka akan diputuskan oleh kementrian. Pasalnya, keberadaan PT.NHM berdasarkan Kontrak Karya yang dibuatkan oleh pusat. Diungkapkannya lagi, untuk waktu penelitian penelitian air sungai dan tanah. KLH membutuhkan waktu yang lama, pasalnya dalam penelitian laboratorium, analisa unsur logam yang terdapat pada tanah juga dilakukan.
“Tanah itu dianalisa apakah mengandung logam berat atau tidak, sehingga nantinya kementerian Lingkungan Hidup akan menindaklanjuti jika terdapat logam berat,”ujarnya. (amy)
Gaji 13 Masih Kabur////
SOFIFI- Penantian Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut) untuk menerima tambahan penghasilan berupa gaji 13 ditahun 2011 makin tidak menentu. Pemeprov Malut hingga saat ini belum menerima instruksi dari pusat.
Hal ini di katakan Taher, Bendahara Gaji Pemerintah Provinsi Maluku Utara saat ditemui Radar Halmahera di Kantor Gubernur Malut kemarin. Dikatakannya, untuk pembayaran gaji 13, pemerintah provinsi belum dapat melakukannya karena menunggu edaran dari Departemen Keuangan.
“ Gaji 13 belum ada,kita menunggu edaran dari Departeman Keuangan,” katanya.
Ditambahkannya, jika saja telah ada edaran tersebut, Bendahara akant tetap melakukan pembayaran. Namun, jika edaran tersebut belum diberikan secara resmi, tentu, pembayaran tidak dapat dilakukan karena nantinya akan beresiko hukum.
“ Kita melakukan pembayaran jika sudah ada surat resmi dari pusat, kalau tidak,” ujarnya sembari menyilangkan kedua tangannya yang bertanda akan ditangkap. (amy)

Pemprov Bakal Tertibkan Royalti


SOFIFI- Minimnya Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari royalti perusahan tambang di Maluku Utara diakui Dinas Pertambangan dan Sumber Daya Energi Provinsi Malut karena serig kehilangan jejak. Hal ini dikarenakan, pembayaran royalti yang tidak tertib dari perusahan-perusahan tambang.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi, Arman Sangadji kepada Radar Halmahera di Kantor Gubernur Malut kemarin. Dikatakannya, saat ini pihaknya dipanggil oleh Sekertaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Malut untuk membicarakan persoalan tersebut. Yakni tentang royalti yang olehnya selama ini terjadi ke-tidak tertiban pembayarannya.
“ Kita mau bicarakan persoalan royalti dan produksi dengan pak sekprov,” katanya.
Dijelaskannya, dengan adanya keinginan tersebut, hal pertama yang akan dilakukan adalah menginventarisir seluruh perusahan-perusahan tambang yang tengah bergerak saat ini. perusahan yang bergerak tersebut menurut dia, adalah yang sementara melakukan eksplorasi hasil produksi.
“ Jadi kita inventarisir semua yang bergerak dan yang sudah sampai pada tahap ekplorasi hasil produksi,” jelasnya.
Setelah melakukan inventarisir jumlah perusahan, langkah berikutnya adalah melakukan penertiban pembayaran royalti ke pusat. Hal tersebut dilakukan, agar diketahui berapa besar hak yang harusnya didapat oleh pemerintah daerah, baik daerah penghasil, daerah sekitar dan provinsi. Pasalnya selama ini menurut dia, dalam pembayaran royalti, perusahan tidak memberikan laporan ke provinsi yang mengakibatkan provinsi maupu daerah penghasil sering kehilangan jejak.
“Jadi misalnya dia mau bayar kesana (pusat) tapi karena tidak terib makanya kita kehilangan jejak karena royalti ini dari perusahan,” ujarnya.
Namun, jika untuk melakukan penertiban, maka langkah lain yang harus ditempuh adalah mengecek secara langsung transfer dana royalti perusahan-perusahan tersebut di Departemen Keuangan. Pasalmnya menurut dia, seluruh anggaran tersebut ditrasfer ke pusat yang kemudian dikembalikan lagi dalam bentuk dana bagi hasil.
“ Jadi mereka bayar ke pusat kemudian dibagi dengan nama dana bagi hasil yakni sebesar 32 persen untuk daerah penghasil, 16 persen bagi daerah provinsi, 32 persen untuk kabupaten sekitar dan 20 persen pusat,” jelasnya kemudian mengatakan jika dirinya belum bisa memberikan penjelasan terlalu banyak karena dipanggil oleh Sekprov Muhadjir Albaar.
Sekedar diketahui, pada tahun 2011, Pemerintah Provinsi Maluku Utara mendapatkan trasfer dana Bagi Hasil dari iuran eksplorasi dan iuran ekploitasi (royalti) dari pemerintah pusat sebesar Rp. 10.121.854.021, namun, jumlah ini masih dirasa masih sangat sedikit, akibat belum ditertibkannya penyetoran hak perusahan tersebut ke pusat yang sulit terkontrol oleh daerah. Karena itu, pemerintah provinsi malut berupaya untuk menertibkan pembayaran kewaiban tersebut. (amy)