Opini

TOLAK AMPLOP, GUGAT KESEJAHTERAAN

Memperbaiki Citera “Buruh Berita” Daerah Di Mata Publik

Oleh : Aditya Tomawonge

PAGI itu, kira-kira pukul 08.30 WIT, disebuah hotel berbintang, di Kota Ternate. Kala itu, digelar Rapat Koordinasi seluruh kepala daerah di Maluku Utara, bersama gubernurnya. Ratusan, mungkin bisa mencapai ribuan orang berdatangan, tak semua adalah peserta, termasuk wartawan, tumpah ruah di halaman parkir hingga ke pintu masuk Aula tempat kegiatan itu digelar. Sangat padat, maklum yang datang adalah pejabat.

Tulisan ini, tak berkisah tentang lip service para kepala daerah diforum itu. Melainkan, sekelompok orang yang menenteng kamera, menjinjing tas berisikan laptop dan notes serta tape recorder. Yach!, para buruh berita.
Tentu, bagi pembaca, ada yang bertanya, mengapa yang menulis catatan ini memulainya dengan Rakorda Kepala Daerah? Jawabannya, dari Rakorda itulah yang menulis catatan ini mendengar langsung, bagaimana nistanya ‘buruh berita’ dimata publik. Tak semua, setidaknya, cemohan pagi itu, sedikit mewakili setengah dari jumlah total manusia yang hidup di Maluku Utara. Penilaian ini, mestinya diapresiasi, dan saya lebih memilih mengaliri apresiasi ini dalam tulisan meski tak sempurna.

Begini kisahnya, pagi itu, disamping sebuah sedan yang terparkir tepat didepan pintu masuk, duduk lima orang berpakaian protokoler. Yang aku kenal, dua diantaranya adalah ajudan salah satu kepala daerah yang hadir. Saat itu, mereka terlihat asyik bercerita, tak jelas apa yang dibahas. Berapa saat kemudian, datang tiga orang, satu diantaranya meneteng kamera lantas menuju pintu masuk aula. Aku kenal siapa mereka, kami adalah sesama ‘buruh berita’. Hendak ku sapa, tapi kuping ini, seperti diberi firasat, bentar dulu, dengar dulu apa yang diomongin tetangga mu ini. lalu, ku urungkan niat ku memanggil mereka yang buru-buru itu.

“Apa lagi itu..?,” tanya seorang dengan setelan protokeler sembari menunjuk tiga pria tadi. Yang lain melanjutkan. “ me wartawan tarada,wartawan ini ee,” jawab yang lainnya sembari jempol dan telunjuknya ber-adu lalu digosok (seperti orang menghitung duit). Memang itu maksudnya. Mereka menuding, teman ku yang tiga tadi, datang menenteng kamera hanya untuk nyambi nyari duit kepada pejabat, dan aku menjadi malu, sebab ku rasa, ketiga temanku itu, kebetulan saja menjadi contoh .

Betapa rendahnya kami, dihadapan mereka, betapa tak berharganya kami dimata mereka. Sungguh, sebuah penilaian yang menyakitkan, sungguh, tuduhan yang pantas dituntut dengan pasal pencemaran nama baik. Aku, medadak naik pitam, emosi meletup-letup. Aku marah, benar-benar marah, ‘almamater’ ku dikatai seperti itu. Tapi, akhirnya tersadar, bahwa, baik buruknya sebuah nilai, tergantung bagaimana laku para pelakon. Bukankah demikian, hati kecil ku menasehati pikiran dan rasa yang mulai kalut. Ku urungkan niat untuk berdiri mengejar tiga temanku tadi, kira-kira tiga puluh menit aku tak bergeming. Sebab, tudingan itu pukulan telak bagi saya ‘buruh berita’ yang menggusung tema independensi dan idealisme pers.

Wartawan Amplop
Wartawan Amplop adalah istilah yang entah kapan mulai dipakai, yang jelas, saya baru mendengarnya beberapa waktu lalu di Caffe Jarod dari mulut seorang teman. Memang agak janggal, agak lucu menurut ku, sebab, wartawan adalah sebuah profesi sementara amplop adalah pembungkus surat, lalu bagaimana dua kata ini bisa disatukan menjadi ‘wartawan amplop’. Ternyata, wartawan amplop mengindikasikan betapa praktek suap yang marak di daerah ini sudah merasuk ke sum-sum para buruh berita dan kita tentu tak boleh munafik.

Istilah ini, jika disandarkan pada anggapan beberapa orang berpakaian protokoler diatas ada korelasinya. Karena, perilaku mudah menerima ‘amplop’ seorang wartawan akan melahirkan stigma buruk orang yang menerima amplop itu sendiri.

Wartawan menurut Hinca Pandjaitan adalah pekerja profesional yang dihargai karena  karyanya, bukan karena hal-hal lain. Wartawan atau oleh yang menulis catatan ini diberi sebutan ‘buruh berita’ adalah sebuah proses yang lahir atas dasar pilihan bebas.  Artinya tidak ada paksaan. Wartawan bukan profesi ‘pelarian’ atau ‘pekerjaan antara’ sebelum meloncat ke pekerjaan lain. Atau menjadikan wartawan sebagai alat untuk memperkaya diri. Pilihan Bebas adalah pengabdian, panggilan dan  profesi. Ini bermakna, pekerjaan akan menyatu dengan entitas diri, sehingga dalam pekerjaan tidak dianggap sebagai sebuah beban. Sudah barang tentu, di dalam pilihan bebas terdapat sebuah risiko, baik atau buruk, sejahtera atau menderita.

Pemahaman Hinca Pandjaitan ini bertolak belakang dengan kondisi di Maluku Utara, orang menjadikan wartawan sebagai batu loncatan, bisa jadi juga aku. Mumpung belum punya kerja, meding jadi wartawan biar cepat bangun koneksi. Apalagi, penerimaan wartawan untuk perusahan media di Maluku Utara tidak berbelit-belit. Karena, awalnya tidak punya keinginan menjadi wartawan profesional, menghadapi godaan-pun sulit ditepis. Padahal, menjadi wartawan di Maluku Utara, jika kita mau jujur, tidak akan pernah kaya dan selalu dekat dengan penderitaan.

Mengapa Disebut Wartawan Amplop?
Tentu orang akan menjawab, karena dia (wartawan) sering menerima pemberian-pemberian berupa uang dari sumber berita, seperti pejabat, politisi dan pengusaha atau yang lainnya. Pemberian itupun beragam, ada yang memberi dengan alasan sekedar uang bensin, uang pulsa bahkan uang mengganjal perut. Sebab, sangat tidak mugkin, seorang yang memberi uang mengatakan itu uang sogokkan, baik untuk memujinya dalam pemberitaan atau menyimpan kasus yang sementara dia jalani.

Mengapa Tak Bisa Menolak?
Pertanyaan ini terlalu sederhana, namun jawabannya tentu tak sederhana pertanyaannya. Sebab, yang bersentuhan dengan isi perut, orang kadang tak rasional. Benar jadi salah, salah jadi benar. Bagaimana mungkin orang menolak pemberian, dikala kebutuhan ekonomi meningkat drastis. Apalagi, untuk seorang wartawan, yang gajinya tak seberapa, yang gajinya tak bisa dia simpan, yang gajinya hanya habis dalam setengah bulan hanya untuk mengongkosi aktifitasnya mencari berita. Mobilitas yang tinggi dari seorang wartawan adalah pintu masuk wartawan itu sendiri mudah menerima amplop. Tentu, tak kuasa dia menolak. Jikapun menolak, mungkin, karena uang yang diberikan hanya sedikit, atau dia hanya pura-pura menolak.

Lalu, apa solusinya?
Wartawan adalah pekerja profesional, pekerja yang harus jauh dari intervensi para pejabat, politisi, pengusaha dan yang lainnya yang nakal dan suka mencuri. Wartawan adalah pilar tegaknya demokrasi, wartawan adalah pekerja yang mengawal keadilan di muka bumi. Wartawan, harusnya mampu menjaga eksistensinya sebagai pengawal yang baik serta tidak tervirusi sikap pragmatis. Karenanya, untuk mencapai tujuan itu, wartawan harusnya benar-benar independensi dan berdiri tegak dengan idealisme persnya. Lihat saja, kode etik Jurlnalis pasal 6 yang berberbunyi: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Artinya, segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Dan suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Nah, jika demikian, maka solusinya, adalah setiap kebutuhan wartawan haruslah manjadi perhatian serius pemilik media, baik aspek fasilitas hidup, seperti akomodasi dan trasportasi.

Sebab, pada dasarnya, wartawan membutuhkan kesejahteraan yang sudah tentu menjadi tanggungjawab pemilik saham media massa. Jika, kesejahteraan wartawan terjawab, perusahan media tinggal merusmuskan aturan yang lebih ketat untuk mengawal kerja wartawan dilapangan untuk tidak lagi menerima ‘amplop’ yang ujung-unjungnya mencemari ‘almamater’ pers itu sendiri. Bagaimana mungkin, kita meneropong dan membasmi korupsi, jika internal kita saja, tak bisa kita benahi. Bagaimana mungkin kita bertekad mendorong pemerintahan yang baik dan bersih, jika para pejuang (wartawan) susah memperjuangkan nasibnya secara internal.

Dan bagaimana mungkin, kita mengawal APBD yang dikorup, jika kita juga menikmati APBD itu sendiri. Bukankah sama saja, kita membuka borok kita meski kesannya, kita ‘melempar namun sembunyi tangan’. Lalu apa solusinya? Sekali lagi, saya ingin menegaskan, jika solusinya adalah kesejahteraan wartawan harus diperhatikan oleh masing-masing manajemen perusahan media. Jika kesejahteraan terjawab, maka kita tinggal berteriak “Wartawan Maluku Utara TOLAK AMPLOP”. Ini semua dilakukan, agar citera buruk yang selama ini tercipta dimasyarakat akan eksistensi para buruh berita lambat laun akan menjadi lebih bersih lagi.

Resolusi Jurnalis 2008 : Prosper dan Profesionalisme
Sebelum mengakhiri catatan ini, sedikit saya ingin menyentil isi resolusi jurnalis tahun 2008 kemarin, di mana, dalam resolusi itu, setidaknya, ada dua hal penting yang menjadi pokok bahasan para jurnalis, baik dari media elektronik dan cetak. Mereka menyepakati, bahwa, masih banyak wartawan yang belum bisa memenuhi kebutuhan bagi pribadi dan keluarganya. Salah satu penyebab adalah kurangnya kesejahteraan diberikan kepada mereka dengan berbagai alasan.

Selain itu di sisi kemampuan jurnalis juga belum berkembang karena antara lain tidak ada sistem upgrading secara sistematis bagi mereka. Kesejahteraan yang masih rendah untuk sebagian jurnalis ditambah kurangnya pengembangan keahlian menyebabkan banyak wartawan terpuruk dalam menjalankan profesinya.

Oleh sebab itu, ada dua komponen penting resolusi wartawan radio, televisi, surat kabar, majalah, online menyambut tahun 2008: pertama,  Prosperity dimana Wartawan dan keluarganya adalah juga manusia. Mereka membutuhkan tempat aman di tempat kerja, masa depan yang cerah dan hidup dalam keluarga yang nyaman. Idealnya, seperti halnya profesi lainnya kehidupan pribadi seorang wartawan sederajat dengan profesi dokter atau pengacara.

Kehidupan yang prosper ini bisa diciptakan bila ada perbaikan dalam tingkat penggajian terhadap profesi wartawan. Di bidang inilah, dunia wartawan masih mengalami kesulitan. Lembaga media massa memperlakukan wartawan seperti pekerja biasa bahkan seperti berbagai cerita yang muncul tidak digaji atau sangat rendah standar gajinya.

sementara yang kedua adalah Profesional , hal ini dimaksudkan adalah Prosperity bisa dicapai bila jurnalis memiliki keahlian yang matang sehingga tingkat profesionalnya bertambah. Adanya sikap enggan meningkatkan keahlian dan terus menerus melakukan pekerjaan dengan cara sama selama bertahun-tahun atau bahkan berpuluh tahun menyebabkan skills-nya tertinggal jauh. Sayangnya, cita-cita ini, hingga memasuki tahun 2012, belum juga tercapai, dan sebahagian besar wartawan yang bekerja di daerah, tak bisa berbuat banyak, dalam selalu menggantungkan hidupnya pada belas kasih orang melalui ‘amplop’.

Catatan ini, mungkin akan menyakiti dan sudah barang tentu ada yang tidak suka akibat merasa tersinggung. Namun, untaian kalimat yang melompat-lompat ini, adalah bentuk atensi dan sebuah pengharapan besar demi perbaikan citera kita, citera para buruh berita di Maluku Utara. Suka ataupun tidak, harus ada yang memulai, sebab, sudah sangat jelas, tuhan kita berfirman, tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak mau merubahnya. ***