Wartawan Malut Post
TRADISI ini mungkin sudah sangat familiar di
Dunia, yakni Harakiri. Harakiri dalam bahasa Jepang yang berarati penyobekan
perut, atau juga sering disebut seppuku pengeluaran isi perut. Atau gampangnya
disebut bunuh diri. Adalah sebuah tradisi yang sering dilakukan para samurai
jepang.
Lambat laun tradisi itu kemudian berkembang, tak
hanya bagi para samurai, tapi menjadi tradisi seluruh rakyat jepang yang
berkesempatan memagang jabatan, amanah atau tanggung jawab meski sekecil apapun
tanggung jawab yang diberikan Negara padanya.
Bukan tanpa sebab orang Jepang melakukan Harakiri
atau Seppuku. Ritual ini awalnya dilakukan para samurai, jika mereka tidak
berhasil menunaikan tugas Negara. Demi menebus kegagalan, dan merasa menanggung
rasa malu karena kelalain mereka, tak segan , mereka rela melakukan bunuh diri.
Di Jepang hingga saat ini tradisi Harakiri masih
tetap terjaga, hanya saja dengan berjalannya waktu, dan berubah zaman, tradisi
bunuh diri tersebut, dirubah menjadi, mengundurkan diri dari jabatan, ketika
ada salah satu pejaba public atau siapapaun yang diberikan tanggung jawab dan
lalai, atau gagal dalam menjaga amanah rakyat dan Negaranya, mereka lebih ingin
mengakhiri atau mundur, dari jabatannya secara terhormat dari pada menanggung
malu karena tak mampu menunaikan tugas.Bahkan sebagaiannya bunuh diri.
Ada salah satu pejabat jepang yang rela
mengundurkan diri dari jabatannya hanya karena istrinya lalai membayar pajak.
Dan salah satu penjaga museum dijepang meloncat dari latai teratas museum
tersebut, karena hanya gara-gara salah satu barang dari museum tersebut hilang,
anehnya barang tersebut tak terlalau bernilai.
Cerita itu mungkin, hanya bagian terkecil, dari
model pertanggung jawaban social orang jepang. Meskipun tak tertuang dalam
undang-undang atau regulas lainnya. Namun semangat samurai itu melekat, tumbuh
dan mekar disetiap sanubari orang jepang. Ini mungkin salah satu tradisi,
sehingga membuat Negara jepang, menjadi Negara maju dan terkemuka di dunia.
Itu di jepang, bagaimanakah dengan kita,
Indonesia, khusunya lagi Maluku Utara. yang katanya kaya akan tradisi dan
nilai-nilai luhur budaya. Namun sayangnya niai itu tak bisa terimpementasikan
dalam kehidupan social masyarakat kita.
Ada sebuah pemandangan yang berbeda, antara sepotong keci ceritanya orang jepang yang penulis sampaikan diatas, dengan kondisi Maluku Utara .
Ada sebuah pemandangan yang berbeda, antara sepotong keci ceritanya orang jepang yang penulis sampaikan diatas, dengan kondisi Maluku Utara .
Di Maluku Utara Sudah menjadi santapan rutin
public, bagiaman perilaku para pembesar kita yang ada di kabupaten /kota hingga
ke Provinsi, mulai dari kepala daerah hingga para gembalanya. Kita bisa
saksikan bagimana tingkah mereka jika dinilai oleh public mengalami kegagalan
dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab yang diberikan masyarakat dan
Negara kepadanya. Ketika dinilai gagal, Olah satu kata. Ribuan kata mengalir,
membalas, mengklarifikasi, bahkan balik menyarang, sambari bertepuk dada, jika
apa yang dinilai public SALAH. Didaerah ini tidak ada satupun pembesar kita
yang pernah berucap “ Saya gagal’. Meskipun secara kasat mata kita bisa
saksikan kegagalan mereka. Ada para pejabat yang ‘tertelanjangi’ bergelimangan
kasus korupsi, namun mereka justru bangga, karena mampu menaklukan sang jaksa
dan polisi (Bukan Hukum). Bahkan anehnya ada yang sudah masuk keluar penjara,
tapi bisa menjadi pembesar. Meskipun bersatatus napi, tak ada yang merasa malu.
Para pembesar didaerah ini paling pandai
berkelit, ketika dinilai tak berhasil, banyak alasanpun di kumandangkan. Ada
yang bilang pembangunan tidak bisa di ukur dalam satu atau dua tahun, perlu
proses panjang. Ketika ditahun kelima, meraka pejabat itu berkuasa, Hutbanyapun
berubah, Alasan yang keluar dari mulutnya , mungkin begini. Perlu dua periode
(10 tahun) untuk memimpin.
Periode pertama katanya melatk dasar fondasi
pembangunan, dan di periode kedua barulah hasilnya bisa terlihat. Namun ketiak
10 tahun berlalu, dan tak ada perubahan yang berarti, saling lempar batupun
dilakukan, sambil sesekai sembunyi tangan. Feno ini menjadi tontonan Publik.
Sungguh sangat disayangkan para pembesar kita memang tak malu, atau bahkan tak
punya malu. Tak berheti hanya disitu, ketika ada suksesi, dilevel yang paling
tinggi, para pembesar yang berada di kasta pertengahan pun berlomba-lomba
pasang dada untuk maju bertarung. Pada hal ada yang nyata-nyata gagal dan tak
mampu membangun kabupaten atau kotanya, namun mendeklarasikan siap maju.
Bukan hanya para pembsar digedung putih yang
memiliki tabeat tersebut, tapi banyak politisi senayan, yang berada di
kabupaten kota, hingga dilevel provinsi juga memiliki prilaku serupa.
Banyak wakil rakyata kita, yang tidak mumpuni
kapasitas dan kapabilitasnya menjadi wakil rakyat, namun banyak yang memaksakan
diri, dan yang hebatnya mereka berhasil duduk diparlemen, Setelah menjadi wakil
rakyat tidak ada secuil kontribusi pun yang diberikan pada masayarakat.
aktivitas mereka hanya datang ikut rapat dan setelah itu pulang, namuan dengan
ponghanya duduk di senanyan.
Ini mungkin sudah menjadi catatan basi. Karena
public hampir tiap saat dipertontonkan dengan kondisi demikian. Taira
shigesuke, salah satu penulis jepang, bertutur Jika seseorang selalau mengingat
kematin, disepanjang waktu, maka dia akan siap mengemban tugas dan akan
menghindari setan dan kesejahatan. Hal yang lebih penting jika selalu mengingat
kematian adalah karakter dan kepribadiannya akan lebih meningkat dan kebaikan
diri akan tumbuh.menurutnya juga jika seorang berpikir umurnya akan panjang
mungkin bisa saja dia teledor, dia tidak akan menujukan kinerja terbaiknya,
sebaliknya jika menyadari hidupnya hanya saat ini dan tidak tau pasti apa yang
akan terjadi besok, maka dia akan mempunyai perasan bahwa itu merupakan
kesepatan terakhir dan akan melakukan yang terbaik. (Taira shigesuke, dalam Ari
Ginajar Spiritual Samura).
”Penulis sangat yakin para pembesar kita tidak
pernah ingat akan mati”
Prinsip tersebut yang dipegang oleh para samurai
jepang waktu itu, dan menjadi turun temurun hingga kini, sehingga setiap
perilaku dalam memegang amanah akan dijalankan sebai-baiknya, dan ketika mereka
tidak sanggup, maka amanah itu tidak akan diembanny. Dan sekali lagi itu sangat
jauh dengan apa yang ada di Maluku Utara, yang katanya sarat akan nilai-nilai
luhur budaya. Penulis yakni di Maluku Utara juga memilki filosifs-filosifis
serupa, hanya tidak mampu diinternalisasikan dalam kehidupan masyarakat Maluku
Utara sehingga melahirkan para pembesar yang bertuhankan jabatan.
Pertanyaannya, bisakah para pejabat di Malut
melakukan Harakiri, seppuku, atau paling tidak megundurkan diri ketia dia
dinilai gagal dalam mengemban amanahnya?? Penulis kira tidak. Karena para
pejabat yang ada di Malut, lebih senang jika rakyatnya menderita ketimbang
dirinya yang menderita karena melepas jabatan empuknya. Jika di Jepang memiliki
tradisi ‘Harakiri’, di Maluku Utara memiliki tradisi yang hampir serupa
namanya. ‘Balik Kiri’. (*****)
asal jang ente yang bale kiri bale kanan too..?
BalasHapus