Kamis, 17 November 2011

Harakiri


Fachrul Marsaolly
Wartawan Malut Post
TRADISI ini mungkin sudah sangat familiar di Dunia, yakni Harakiri. Harakiri dalam bahasa Jepang yang berarati penyobekan perut, atau juga sering disebut seppuku pengeluaran isi perut. Atau gampangnya disebut bunuh diri. Adalah sebuah tradisi yang sering dilakukan para samurai jepang.
Lambat laun tradisi itu kemudian berkembang, tak hanya bagi para samurai, tapi menjadi tradisi seluruh rakyat jepang yang berkesempatan memagang jabatan, amanah atau tanggung jawab meski sekecil apapun tanggung jawab yang diberikan Negara padanya.
Bukan tanpa sebab orang Jepang melakukan Harakiri atau Seppuku. Ritual ini awalnya dilakukan para samurai, jika mereka tidak berhasil menunaikan tugas Negara. Demi menebus kegagalan, dan merasa menanggung rasa malu karena kelalain mereka, tak segan , mereka rela melakukan bunuh diri.
Di Jepang hingga saat ini tradisi Harakiri masih tetap terjaga, hanya saja dengan berjalannya waktu, dan berubah zaman, tradisi bunuh diri tersebut, dirubah menjadi, mengundurkan diri dari jabatan, ketika ada salah satu pejaba public atau siapapaun yang diberikan tanggung jawab dan lalai, atau gagal dalam menjaga amanah rakyat dan Negaranya, mereka lebih ingin mengakhiri atau mundur, dari jabatannya secara terhormat dari pada menanggung malu karena tak mampu menunaikan tugas.Bahkan sebagaiannya bunuh diri.
Ada salah satu pejabat jepang yang rela mengundurkan diri dari jabatannya hanya karena istrinya lalai membayar pajak. Dan salah satu penjaga museum dijepang meloncat dari latai teratas museum tersebut, karena hanya gara-gara salah satu barang dari museum tersebut hilang, anehnya barang tersebut tak terlalau bernilai.
Cerita itu mungkin, hanya bagian terkecil, dari model pertanggung jawaban social orang jepang. Meskipun tak tertuang dalam undang-undang atau regulas lainnya. Namun semangat samurai itu melekat, tumbuh dan mekar disetiap sanubari orang jepang. Ini mungkin salah satu tradisi, sehingga membuat Negara jepang, menjadi Negara maju dan terkemuka di dunia.
Itu di jepang, bagaimanakah dengan kita, Indonesia, khusunya lagi Maluku Utara. yang katanya kaya akan tradisi dan nilai-nilai luhur budaya. Namun sayangnya niai itu tak bisa terimpementasikan dalam kehidupan social masyarakat kita.
Ada sebuah pemandangan yang berbeda, antara sepotong keci ceritanya orang jepang yang penulis sampaikan diatas, dengan kondisi Maluku Utara .
Di Maluku Utara Sudah menjadi santapan rutin public, bagiaman perilaku para pembesar kita yang ada di kabupaten /kota hingga ke Provinsi, mulai dari kepala daerah hingga para gembalanya. Kita bisa saksikan bagimana tingkah mereka jika dinilai oleh public mengalami kegagalan dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab yang diberikan masyarakat dan Negara kepadanya. Ketika dinilai gagal, Olah satu kata. Ribuan kata mengalir, membalas, mengklarifikasi, bahkan balik menyarang, sambari bertepuk dada, jika apa yang dinilai public SALAH. Didaerah ini tidak ada satupun pembesar kita yang pernah berucap “ Saya gagal’. Meskipun secara kasat mata kita bisa saksikan kegagalan mereka. Ada para pejabat yang ‘tertelanjangi’ bergelimangan kasus korupsi, namun mereka justru bangga, karena mampu menaklukan sang jaksa dan polisi (Bukan Hukum). Bahkan anehnya ada yang sudah masuk keluar penjara, tapi bisa menjadi pembesar. Meskipun bersatatus napi, tak ada yang merasa malu.
Para pembesar didaerah ini paling pandai berkelit, ketika dinilai tak berhasil, banyak alasanpun di kumandangkan. Ada yang bilang pembangunan tidak bisa di ukur dalam satu atau dua tahun, perlu proses panjang. Ketika ditahun kelima, meraka pejabat itu berkuasa, Hutbanyapun berubah, Alasan yang keluar dari mulutnya , mungkin begini. Perlu dua periode (10 tahun) untuk memimpin.
Periode pertama katanya melatk dasar fondasi pembangunan, dan di periode kedua barulah hasilnya bisa terlihat. Namun ketiak 10 tahun berlalu, dan tak ada perubahan yang berarti, saling lempar batupun dilakukan, sambil sesekai sembunyi tangan. Feno ini menjadi tontonan Publik. Sungguh sangat disayangkan para pembesar kita memang tak malu, atau bahkan tak punya malu. Tak berheti hanya disitu, ketika ada suksesi, dilevel yang paling tinggi, para pembesar yang berada di kasta pertengahan pun berlomba-lomba pasang dada untuk maju bertarung. Pada hal ada yang nyata-nyata gagal dan tak mampu membangun kabupaten atau kotanya, namun mendeklarasikan siap maju.
Bukan hanya para pembsar digedung putih yang memiliki tabeat tersebut, tapi banyak politisi senayan, yang berada di kabupaten kota, hingga dilevel provinsi juga memiliki prilaku serupa.
Banyak wakil rakyata kita, yang tidak mumpuni kapasitas dan kapabilitasnya menjadi wakil rakyat, namun banyak yang memaksakan diri, dan yang hebatnya mereka berhasil duduk diparlemen, Setelah menjadi wakil rakyat tidak ada secuil kontribusi pun yang diberikan pada masayarakat. aktivitas mereka hanya datang ikut rapat dan setelah itu pulang, namuan dengan ponghanya duduk di senanyan.
Ini mungkin sudah menjadi catatan basi. Karena public hampir tiap saat dipertontonkan dengan kondisi demikian. Taira shigesuke, salah satu penulis jepang, bertutur Jika seseorang selalau mengingat kematin, disepanjang waktu, maka dia akan siap mengemban tugas dan akan menghindari setan dan kesejahatan. Hal yang lebih penting jika selalu mengingat kematian adalah karakter dan kepribadiannya akan lebih meningkat dan kebaikan diri akan tumbuh.menurutnya juga jika seorang berpikir umurnya akan panjang mungkin bisa saja dia teledor, dia tidak akan menujukan kinerja terbaiknya, sebaliknya jika menyadari hidupnya hanya saat ini dan tidak tau pasti apa yang akan terjadi besok, maka dia akan mempunyai perasan bahwa itu merupakan kesepatan terakhir dan akan melakukan yang terbaik. (Taira shigesuke, dalam Ari Ginajar Spiritual Samura).
”Penulis sangat yakin para pembesar kita tidak pernah ingat akan mati”
Prinsip tersebut yang dipegang oleh para samurai jepang waktu itu, dan menjadi turun temurun hingga kini, sehingga setiap perilaku dalam memegang amanah akan dijalankan sebai-baiknya, dan ketika mereka tidak sanggup, maka amanah itu tidak akan diembanny. Dan sekali lagi itu sangat jauh dengan apa yang ada di Maluku Utara, yang katanya sarat akan nilai-nilai luhur budaya. Penulis yakni di Maluku Utara juga memilki filosifs-filosifis serupa, hanya tidak mampu diinternalisasikan dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara sehingga melahirkan para pembesar yang bertuhankan jabatan.
Pertanyaannya, bisakah para pejabat di Malut melakukan Harakiri, seppuku, atau paling tidak megundurkan diri ketia dia dinilai gagal dalam mengemban amanahnya?? Penulis kira tidak. Karena para pejabat yang ada di Malut, lebih senang jika rakyatnya menderita ketimbang dirinya yang menderita karena melepas jabatan empuknya. Jika di Jepang memiliki tradisi ‘Harakiri’, di Maluku Utara memiliki tradisi yang hampir serupa namanya. ‘Balik Kiri’. (*****)

1 komentar: