Jumat, 18 November 2011

Pemprov Malut Serobot Lahan Warga

Laporan: A.R.Tomawonge

SOFIFI- Masalah pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur pemerintah provinsi Maluku Utara di Sofifi semakin hari semakin rumit. Proyek pengadaan tanah ini disamping merugikan masyarakat karena terjadi permainan harga, Pemprov juga melakukan penyerobotan hak atas tanah milik warga.

Penyerobotan tanah yang dilakukan oleh Pemprov Malut ini menimpa tanah milik Magdalena Bilo, salah satu warga Dusun Gosale Puncak. Sebidang tanah seluas satu kapling rumah digusur tanpa ada pembayaran. Anehnya, diatas tanah milik Magdalena telah dibangun perumahan untuk Sekertaris Daerah Provinsi Maluku Utara, Muhadjir Albaar (depan kediaman Gubernur). Penyerobotan ini ternyata dilakukan sejak proyek pembebasan awal pada tahun 2003. Hingga saat ini, Magdalena masih mencari keadilan dengan menyurati Pansus Aset Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malut.

“ Ada satu keluarga di Dusun Gosale Puncak yang tanahnya belum dibayar. Padahal diatas tanah miliknya telah dibangun kediaman Sekprov. Nama pemilk tanah, Magdalena Bilo yang hingga saat ini terkatung-katung nasibnya dan suratnya sudah masuk ke kami pagi ini. saya katakan bahwa secara tidak langsung pemprov telah melakukan penyerobotan tanah. Apalagi sampai saat ini, tanah tersebut belum dibayar,” Ujar Amin Drakel, Sekertaris Pansus Aset DPRD Malut kemarin.

Matius Bilo, Kepala Dusun Gosale Puncak yang ditemui menjelaskan, persoalan tersebut terjadi saat pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah provinsi Malut pada tahun 2003. Dimana menurut dia, saat itu, proyek pembebasan yang dipimpin langsung oleh pejabat pemprov bernama Akmal. Harga tanah permeter adalah sebesar Rp. 10 ribu padahal, masyarakat meminta agar harga permeter adalah Rp.12 ribu.

“ saat itu saya paksakan harga tanah, itu bertujuan agar tidak ada masyarakat yang merasa dirugikan. Tapi begitulah, akhirnya kita sepakat harga tanah tidak bisa naik, standarnya tetap sepuluh ribu per meter. Apalagi saat itu mereka beralasan harga tersebut berdasarkan NJOP,”jelasnya.

Lahan yang dimiliki masyarakat tersebut menurut dia, pada umumnya telah memiliki sertifikat. Anehnya, saat pembebasan dilakukan dan dirinya melakukan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Tidore Kepulauan. BPN menjelaskan jika sertifikat yang dimiliki oleh masyarakt sudah tidak bisa digunakan.

“ Saya ke Pertanahan tapi mereka bilang semua sertifikat sudah hangus dan tidak berlaku lagi,” akunya.

Mendapat penjelasan demikian, dia mengaku dilanda kebingungan. Pasalnya disaat yang bersamaan, seluruh warga yang tanahnya berada pada lokasi pembebasan (saat ini kantor Gubernur Malut dan areal disekitarnya) tetap mempertanyakan persoalan tersebut kepada dirinya. Diakuinya, jika saat dirinya mendapati penjelasan tersebut, tidak ada lagi bantahan darinya. Itu dilakukan karena dirinya tidak mengetahui mekanisme pembebasan lahan dan pengurusan sertifikat.

“ Ada sebelas orang yang lahannya dibebaskan pada tahun 2003. Diatas lahan tersebut dibangun kantor gubernur. Saat itu saya tidak bisa berbicara banyak karena saya tidak memahami aturan. Karena itu saat pembebasan lahan berlangsung kita (warga) mengikuti harga tanah yang telah ditetapkan itu,” ungkapnya.

Dikatakannya, untuk pembebasan lahan pada tahun 2003, di Gosale Puncak, pemprov melakukan pembebasan seluas 4 Ha. Seluruh masyarakat, termasuk dirinya diberikan Rp. 10 ribu permeter. Sementar untuk sertifikat, hingga saat ini yang mereka pahami, sertifikat milik mereka sudah tidak berlaku lagi.

“ Diundang-undang itu sertifikat seumur hidup jadi tidak ada sertifikat yang hangus atau tidak berlaku lagi,” tambah Amin Drakel.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar